PENCARIAN MODEL PEMBELAJARAN

Disampaikan dalam Seminar Nasional Universitas Terbuka di UPBJJ-UT Surakarta pada tanggal 10 September 2007

Abstract

Certification is a giving certificate process to a teacher who has had an academics and competency qualification. After receiving the certificate, professionally he has to perform his best capability to organize class-room activity. Decreasing curriculum materials in “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)” indicates a study process orientation changing, from material oriented to process oriented. Professional certification claims consequence at the receiver teacher to create study models which orienting at process, that is an active, creative, efficient and independent study. Students will be able to be self-supporting, active and have high creativeness whenever they do not feel to be handcuffed with some demarcation, in the other words whenever they feel to be free expressing their abilities.

Key Words: Certification, Competency, Professional, KTSP, Process oriented, Free expression.

Abstrak

Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik sebagai tenaga profesional. Guru yang profesional selain memiliki kualifikasi akademis juga dituntut memiliki kualifikasi kompetensi, baik kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional maupun sosial. Setelah seorang guru lulus uji sertifikasi, secara professional ia dituntut memperlihatkan kemampuannya, diantaranya kemampuan mengelola pembelajaran. Penciutan jam pelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengindikasikan adanya perubahan orientasi proses pembelajaran, yang semula berorientasi pada materi berubah menjadi berorientasi pada proses. Sertifikat professional menuntut konsekuensi pada guru penerima untuk mampu menciptakan model-model pembelajaran yang berorientasi pada proses, yaitu pembelajaran yang aktif, kreatif, efisien, dan menumbuhkan sikap kemandirian. Siswa akan mampu mandiri, aktif dan memiliki daya kreasi yang tinggi manakala ia tidak merasa terbelenggu dengan pembatasan-pembatasan yang ketat, dengan kata lain manakala ia merasa merdeka mengekspresikan kemampuannya.

Kata Kunci: Sertifikasi, Kompetensi, Profesional, KTSP, Orientasi pada proses, Bebas berekspresi

Permasalahan

Membaiknya pendapatan setelah proses sertifikasi menjadi idaman semua guru. Membaiknya pendapatan tidak berarti tidak membawa suatu kekhawatiran. Salah satu kekhawatiran yang muncul adalah adanya kemungkinan orang tertarik menjadi guru hanya karena tergiur gaji yang tinggi. Sugito (Kompas, 1 September 2007) mengkhawatirkan tentang tidak adanya “panggilan hati” pada diri para calon guru untuk menjadi guru manakala gaji guru sudah ‘baik’. Kekhawatiran ini memang cukup beralasan. Kita mengetahui pentingnya peran ‘panggilan hati’ pada profesi guru. “Panggilan hati” bisa membuat seseorang melakukan suatu pekerjaan tanpa memikirkan besar kecilnya upah. “Panggilan hati” bisa menghilangkan kemungkinan ‘lari’nya para guru dari tempat mereka bertugas atau kemungkinan hilangnya jiwa mengabdi para guru seperti yang sering terjadi di daerah pedalaman Papua (Arif & Ariyanto, 2007).

Kekhawatiran di atas seharusnya tidak menghalangi para guru memperoleh kesejahteraan yang memang sudah cukup lama diharapkan. Yang kita harapkan adalah hal yang sebaliknya. Membaiknya pendapatan guru tidak menyurutkan langkah orang yang sudah memiliki panggilan hati untuk tetap bertekad menjadi guru. Selain itu guru yang pada mulanya memiliki panggilan hati tidak akan kehilangan panggilan hatinya manakala pendapatannya sudah tinggi. Pada sisi lain, para calon guru yang mulanya tidak memiliki panggilan hati, namun setelah menjadi guru, ia akan menikmati dan menghayati kehidupan guru sehingga dapat memunculkan panggilan hati. Panggilan hati akan tetap mendorongnya menjiwai tugas yang diembannya.

Yang menjadi masalah adalah apakah para guru yang nota bene telah memiliki panggilan hati, setelah berhasil lulus uji sertifikasi akan bertambah motivasi, dedikasi dan profesionalismenya ?

Profil Sebagian Besar Guru (SD) Indonesia

Kasus larinya para guru dari pedalaman Papua mencerminkan rendahnya motivasi berkarya, hilangnya dedikasi pada dunia pendidikan dan melunturnya sikap profesionalis seorang guru. Kondisi sosial ekonomi pedalaman Papua memang merupakan contoh ekstrem ketertinggalan masyarakat Indonesia dari ‘dunia peradaban pendidikan’. Faktor alam dan keterpencilan lokasi tempat bertugas menjadi penghalang bagi para guru untuk dapat menikmati hidup, apalagi untuk mengembangkan kemampuan profesinya. Meskipun kasus ini tidak dapat dijadikan cermin bagi sebagian besar guru Indonesia, namun mencuatnya kasus ini cukup menghentak ketenangan dan optimisme kita menyambut diberlakukannya sertifikasi guru.

Dalam artikelnya, Artika (Kompas, 6 Agustus 2007) menyebutkan beberapa stereotype negatif guru Indonesia. Guru-guru kita adalah guru yang tertinggal infomasi dan teknologi; guru yang tidak mau belajar, membaca dan berpikir; guru yang hidup dalam kondisi yang serba stagnan; dan guru yang malas menulis. Apakah penilaian negatif ini benar?

Penulis belum sepenuhnya dapat membenarkan atau menyalahkan penilaian negatif ini. Namun penulis menemui bukti-bukti yang dapat mendukung pemberian penilaian tersebut saat membimbing penyusunan laporan penelitian tindakan kelas para mahasiswa Program S1 PGSD di Kabupaten Pati, Jepara dan Kudus. Mereka, terutama yang tinggal di luar kecamatan kota, masih awam dengan komputer, apalagi internet. Sebagian besar mahasiswa masih sangat bergantung pada jasa pengetik komputer untuk kelancaran tugas ataupun untuk penyusunan laporan.

Mereka jarang membaca koran, majalah dan buku selain buku teks pelajaran. Mereka tidak lagi belajar untuk meningkatkan kemampuan profesinya. Kemampuan profesinya dapat dikatakan tidak mengalami kemajuan yang berarti semenjak lulus SPG atau D II PGSD. Mereka sangat kesulitan menemukan sumber-sumber kepustakaan selain buku teks pelajaran. Kemampuan menyusun kalimat cukup rendah, seringkali penulis mengalami kesulitan memahami makna kalimat yang mereka buat. Hasil penataran, seminar ataupun lokakarya yang pernah mereka peroleh tidak lagi dibaca ataupun dipraktekkan bila memang tidak diwajibkan oleh tuntutan profesinya.

Keengganan para guru untuk membaca mengakibatkan mereka ‘miskin’ informasi. ‘Kemiskinan’ informasi akan berakibat pada ketertinggalan mereka dalam segala aspek keilmuan. Ketidakmampuan guru dalam aspek ilmu dan teknologi secara pasti akan diwariskan kepada para siswa, dan sebagai muaranya kualitas lulusan para siswanya tidak jauh beranjak dari ilmu yang disajikan dalam buku teks pelajaran. Bila kita bertanya pada para guru mengapa mereka jarang mau membaca dan belajar, jawaban tidak memiliki cukup waktu akan sering kita dapatkan. Mereka sibuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga ataupun mencari tambahan pendapatan di luar jam kedinasan, dan akhirnya muara permasalahan yang dihadapi para guru adalah minimnya pendapatan yang mereka peroleh.

Sertifikasi dan Konsekuensinya

Penantian lama para guru sedikit terobati pada tahun 2005 saat DPR mensahkan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen (UUGD). Dalam UUGD antara lain diatur tentang pelaksanaan sertifikasi guru, peningkatan kualifikasi, peningkatan kompetensi guru, pendidikan di daerah terpencil dan maslahat tambahan (penghargaan akhir masa bakti bagi guru dan beasiswa bagi putra putrid guru berprestasi) (www.sertifikasiguru.org/).

Peningkatan kualifikasi guru disamping untuk meningkatkan kompetensi sehingga layak untuk menjadi guru yang professional, juga dimaksudkan agar guru yang bersangkutan dapat mengikuti uji sertifikasi setelah mendapat ijasah S1 atau D-4 serta mengikuti pendidikan profesi. Salah satu ujud implementasi UUGD adalah penggunaan dana APBNP 2006 untuk pemberian tambahan kesejahteraan bagi para guru dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa dan penghargaan bagi guru atau bentuk kesejahteraan lain.

Dalam APBNP/P tahun 2006 Depdiknas menargetkan untuk dapat melakukan uji sertifikasi terhadap 20.000 guru. Prioritas uji sertifikasi tahap awal ini adalah guru yang mengajar di jenjang pendidikan dasar yang telah memenuhi persyaratan. Tahun 2007 ditargetkan 200.450 guru disertifikasi. (Kompas, 13 Agustus 2007).

Sistem penilaian yang dipakai LPTK penyelenggara sertifikasi adalah penilaian portofolio. Pendekatan yang digunakan adalah menilai kumpulan dokumen yang diserahkan melalui dinas pendidikan masing-masing daerah. Penilaian portofolio tercakup dalam 10 unsur, yaitu kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan (Furqon, 2007).

Melalui pelaksanaan sertifikasi, terbuka kesempatan yang besar bagi para guru untuk memperbaiki kesejahteraannya. Untuk mengikuti uji sertifikasi, pemerintah memberikan kemudahan yang sangat besar bagi para guru sekolah dasar yang telah memenuhi kualifikasi 10 unsur penilaian. Misalnya untuk unsur penilaian akademik, guru cukup melampirkan ijazah S1 yang telah dimilikinya. Begitu pula untuk unsur penilaian pengalaman mengajar, guru cukup melampirkan surat keputusan lama mengajar. Sepanjang terdapat bukti fisik, maka guru tersebut akan diakui (Suyanto, 2007).

Kemudahan proses uji sertifikasi menimbulkan kesangsian terhadap efektifitas pelaksanaan UUGD dalam mencetak guru-guru yang profesional. Kepala Badan Nasional Sertifikasi Profesi berkomentar “ Saat ini kompetensi profesi masih lebih banyak ditetapkan dari ijazah sekolah, yang terjadi masyarakat lebih mengejar sekolah setinggi-tingginya, tapi kompetensinya kemudian masih dipertanyakan” (Kompas, 5 Juli 2007). Sertifikasi guru dan dosen saat ini masih menghadapi dilema yang cukup sulit. Bila uji sertifikasi ditekankan pada sertifikasi kompetensi di lapangan, tantangan besarnya dana dan keterbatasan tenaga asesor mengingat besarnya jumlah guru yang akan diuji dan tersebarnya lokasi mereka bertugas dapat menyurutkan nyali pemerintah untuk segera memulai proses sertifikasi. Namun di sisi kualitas profesi, pelaksanaan uji sertifikasi melalui penilaian portofolio menyisakan pertanyaan pada aspek kompetensi profesi yang sebenarnya, yang memang sejak awal menjadi tujuan utama.

“Sertifikasi kompetensi ini bermanfaat bagi peningkatan daya saing dan produktivitas tenaga kerja dalam negeri. …” kata kepala Badan Nasional Sertifikasi Profesi (Kompas, 6 Juli 2007). Melalui sertifikasi kompetensi yang dilaksanakan pada para guru, pemerintah berharap para guru memiliki daya saing di dalam dan di luar negeri. Melalui sertifikasi pemerintah berharap produktivitas para guru akan jauh meningkat. Di sisi guru, sertifikasi memberi kesempatan pada para guru untuk memperbaiki taraf kehidupan melalui berbagai tunjangan dan fasilitas. Dengan telah meningkatnya pendapatan yang diperoleh, para guru dapat lebih berkonsentrasi mengembangkan kompetensi dan profesionalismenya setara dengan kualifikasi seorang pemimpin, yaitu memiliki standar kognisi dan afeksi di atas rata-rata. Dengan kata lain melalui sertifikasi pemerintah ingin mencetak guru-guru yang andal. “Tiap berpikir ihwal kualifikasi seorang guru, kita sebenarnya sedang berharap seperti itulah kualifikasi minimal yang semestinya dimiliki seorang pemimpin: punya standar kognisi (intelektual) dan afeksi (perilaku dan sikap) di atas rata-rata” (Sugito, 2007).

Guru yang Andal

Di balik peningkatan kesejahteraan yang diterima, sertifikasi menuntut para guru dapat melepaskan dirinya dari stereotype negatif yang selama ini menempel pada baju seorang guru. Guru dituntut untuk membuktikan bahwa dirinya dapat diandalkan. Artika (2007) mendefinisikan guru andal sebagai berikut:

” … Guru-guru yang penuh dedikasi bagi bangsa ini. Guru-guru yang sadar akan pilihan profesinya, yang tidak henti belajar dan menjadikan guru sebagai pilihan profesinya. Mereka adalah guru-guru yang menikmati pekerjaannya dan bertanggung jawab atas pilihannya sebagai guru. Mereka ini sama sekali tidak menganggap kerja guru sebagai sambilan. Guru-guru yang benar-benar bekerja secara total….”

Setelah seseorang menjadi guru yang andal, ia harus dapat memuaskan berbagai tuntutan masyarakat yang ditujukan pada diri seorang guru. Dalam pelaksanaan tugasnya keseharian, tuntutan masyarakat ini antara lain dapat diujudkan dalam bentuk penciptaan pembelajaran yang mampu menciptakan pribadi seorang pemimpin dan menanamkan ilmu seorang ilmuwan. Sugito (2007) menyebutkan beberapa tuntutan yang harus dipenuhi guru;

” Namun, seorang guru yang baik selalu dituntut mampu melahirkan manusia-manusia yang baik, bukan sekadar murid yang pintar. Guru dituntut tidak hanya mampu menggarap kognisi (rasio logika), tetapi juga afeksi (rasa, cipta, karsa dan sikap). Oleh karena itu dalam sejarah kesadaran kita atau dalam ekspektasi kita, guru mesti memiliki kualifikasi yang melampaui sekadar penguasaaan pelajaran (kognisi), tetapi juga memenuhi prasyarat jika seseorang ingin jadi pemimpin yang baik. Ia harus mampu mengajarkan bagaimana jadi manusia yang baik, mampu memberi teladan bahwa misalnya korupsi itu sama saja dengan mencuri lewat contoh langsung dalam laku keseharian hidupnya yang sudah sempit dan serta terbatas. Kulalitas itulah yang kita rindukan dari mereka yang diberkahi sebutan pemimpin…”

Melalui proses pembelajaran, seorang guru juga dituntut mengajarkan teladan dan cara untuk bersikap. Rhenald Kasali mengatakan “Pendidikan akan mengajari kilta untuk bangkit ketilka

kita jatuh dan menjadi rendah hati bila sedang di puncak. Untuk itulah, pendidikan selayaknya dipahami sebagai proses untuk hidup…” (Kalbu, 2007).

Pembelajaran yang Terbelenggu

Selain menjadi peluang bisnis, keberadaan buku teks di ruang kelas sering kali menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan. Buku cetak (buku teks) masih dijadikan acuan tunggal dalam mengajar (Namang, 2007). Kurikulum atau silabus materi jarang sekali dibaca sebelum datang ke kelas. Materi yang disajikan dalam pembelajaran hanya sebatas materi yangtertuang dalam buku teks. Guru lebih tenang dan lebih senang menghadapi siswa dengan ditemani buku teks daripada ditemani silabus. Guru mengelola proses pembelajaran sesuai dengan materi yang telah tersaji dalam buku teks. Tidak jarang penulis temui guru yang salah dalam membaca silabus. Guru yang seharusnya mengajar keterampilan membaca petunjuk (Mapel Bahasa Indonesia), dalam pembelajaran ia mengajar mapel keterampilan hanya karena yang dibaca adalah petunjuk membuat terompet. Hal ini menunjukkan kuatnya belenggu buku teks dalam pembelajaran. Seakan-akan proses pembelajaran akan terhenti tanpa kehadiran buku teks.

Selain mengalahkan kurikulum sebagai acuan materi pembelajaran, buku teks juga menggeser peran guru sebagai dirijen irama proses pembelajaran di kelas. Belenggu buku teks sering kali ‘mengikat’ guru untuk menggunakan metode ceramah. Tingginya tuntutan kurikulum menjadi alasan kemalasan guru untuk merancang pembelajaran yang aktif dan kreatif. Metode ceramah dikatakan sebagai metode yang paling efektif dan efisien untuk memindahkan ilmu ke benak siswa, metode yang dianggap paling dapat memenuhi kebutuhan guru (Bhs Jawa: murakabi).

Dengan lebih banyaknya waktu yang dimiliki guru untuk melakukan persiapan pembelajaran, diharapkan guru lebih aktif dan kreatif melakukan pembenahan pada proses pembelajaran. Pembenahan yang paling utama adalah pemberdayaan ruang kreativitas (Namang, 2007). Kreativitas tidak akan muncul bila kondisi psikologis siswa dalam tekanan. Oleh karena itu dibutuhkan pembelajaran yang memerdekakan siswa dari segala tekanan.

Memerdekaan Siswa

Selama ini model pembelajaran yang paling sering dilaksanakan oleh guru adalah pembelajaran dengan menerapkan metode ceramah dengan tingkat ketergantungan pada buku teks yang tinggi.

Pembelajaran model ini mengarahkan siswa hanya untuk menyimpan pengetahuan, melatih kecapakan teoritis dan kelincahan menguasai teknologi. Daya kritis dan kreativitas nyaris tidak kebagian ruang. Peserta didik lebih diarahkan untuk memenuhi target kurikulum dan mengejar nilai kelulusan Ujian Akhir Nasional (UAN).

Pembelajaran yang memerdekakan siswa adalah pembelajaran yang memberikan ruang seluas mungkin bagi daya kritis, kreativitas dan keaktifan siswa tumbuh dan berkembang. Namun saat ini model pembelajaran yang memberdayakan kreativitas berbenturan dengan standarisasi yang saat ini sedang diberlakukan. Menurut Conny R. Semiawan “Standarisasi pendidikan seperti itu sama sekali tidak menyentuh orientasi kesadaran akan tujuan dari penyelenggaraan pendidikan. Orientasi sasaran pendidikan telah hilang bersamaan dengan ditetapkannya standar nilai dari hasil ujian.” (Kompas, 6 Juli 2007). Menjadi tugas dan tantangan bagi guru yang andal untuk mensinkronkan antara kebutuhan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya daya kritis, kreativitas dan keaktifan siswa dengan ketentuan pemerintah dalam standarisasi pendidikan.

Sebagai salah satu bentuk konsekuensi sertifikasi kompetensi, para guru dituntut menciptakan model pembelajaran yang dapat melepaskan siswa dari berbagai tekanan dan pembatasan. Para siswa diarahkan untuk mengembangkan daya nalar dan rasa serta kemampuan kreatif karsa dalam situasi apapun. Para siswa perlu dipandang sebagai partner pendidikan dan subyek pedagogis. Bersama guru, mereka meretas relasi kerekanan yang saling member dan menerima. Akal, nurani dan tangannya (head, heart and hand) diberdayakan secara utuh. Pembelajaran selain berorientasi pada proses, namun juga memiliki kesadaran terhadap potensi yang dimiliki. Nilai-nilai sasaran dikomunikasikan kepada peserta didik.

Para siswa difasilitasi sehingga dapat belajar dengan baik dari pengalaman mereka. Mereka belajar dengan cara dan gayanya sendiri dalam melakukan, menggunakan indera dan menjelajahi lingkungan, baik lingkungan orang-orang, benda, tempat serta kejadian di sekitar mereka. Mereka belajar dari tangan pertama dan pengalaman nyata (menulis artikel suratkabar, menanam bunga, mengukur benda-benda dsb) maupun juga dari bentuk-bentuk pengalaman yang sensasional (misalkan membaca buku, melihat lukisan, menonton TV atau mendengarkan radio). Muthohar (2007) mengatakan ”Keterlibatan yang aktif dengan obyek-obyek ataupun ide-ide dapat mendukung aktivitas mental yang membantu siswa menyimpan pembelajaran yang baru dan mengintegrasikannya dengan apa yang sudah mereka ketahui”. Inilah tantangan para guru pasca sertifikasi kompetensi. Semoga paparan sederhana ini bermanfaat bagi kita semua.

Kesimpulan

Pemerintah berharap melalui sertifikasi tidak ada lagi guru yang sibuk mencari pendapatan tambahan. Guru benar-benar menekuni profesinya. Ia memiliki lebih banyak waktu dan konsentrasi untuk mengembangkan dan mengasah kemampuan profesinya. Salah satu kemampuan profesi yang perlu dikembangkan oleh para guru adalah menciptakan proses pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada para siswa untuk bergerak, berinteraksi dan bersosialisasi. Memberi kesempatan pada para siswa untuk mengasah, menumbuhkan dan mengembangkan daya nalar, rasa dan kreativitas karsa mereka.

Sumber Pustaka

Arif, Ahmad dan Ariyanto, Gesit, 2007. Pendidikan yang Berjalan Mundur. Artikel: Kompas, 5 September 2007.

Artika, I Wayan. 2007. Harga Mahal bagi Guru yang Hebat. Artikel: Kompas, 6 Agustus 2007.

Furqon, M. Prof, Dr. M.Pd. 2007. Sertifikasi Guru Dimulai. Artikel: Kompas, 16 Agustus 2007.

Muthohar, Ahmad. 2007. Bagaimana Cara Terbaik Anak Belajar ?. Materi Pelatihan Tim Sekolah Lima Bidang Studi, Kerjasama Depdiknas Propinsi dengan USA Aids / DBE 2; Juni-Agustus 2007.

Kalbu, Tyas Ing. 2007. Pendidikan itu Proses untuk Hidup”, Artikel: Kompas, 6 Juli 2007

Namang, Maria FK. 2007. Pendidikan yang Memerdekakan. Artikel: Kompas, 15 Agustus 2007.

Sugito, Zen Rachmat. 2007. Pemimpin yang Melahirkan Pemimpin. Artikel: Kompas, 1 September 2007.

Suyanto, Bedjo. 2007. Sertifikasi guru Dimulai. Artikel: Kompas, 23 Agustus 2007.

--- . 2007. Pendidikan Kurang Orientasi. Kompas, 6 Juli 2007.

--- . 2007. 47 PT Menjadi Lembaga Sertifikasi. Kompas, 13 Agustus 2007.

--- . 2007. Sertifikasi Guru. www.sertifikasiguru.org/. Diunduh 10 September 2007.

0 Response to "PENCARIAN MODEL PEMBELAJARAN"

Posting Komentar